PORTALBALIKPAPAN.COM, Palangkaraya – Ragam eksploitasi hutan borneo, mulai dari proyek pembangunan ibu kota baru atau Ibu Kota Nusantara (IKN), food estate, pertambangan dan juga perkebunan sawit dan lainnya berdampak besar terhadap lingkungan, termasuk robohnya paru-paru dan lumbung pangan dunia, berkurangnya kawasan hutan dan penurunan kualitas ekosistem.
Dalam situasi seperti itu, penting untuk memahami peran masyarakat dayak di Bumi Borneo dan khususnya perempuan dayak dalam pelestarian hutan dan bagaimana dapat berkontribusi dalam merancang rencana pembangunan yang berkelanjutan.
Hal ini semakin penting mengingat pencapaian 20 tahun Social Forestry perlu ditindaklanjuti sesegera mungkin yang kini cenderung disematkan sebatas dalam mimpi-mimpi kebijakan semata.
Menyikapi hal tersebut, Lembaga Perempuan Dayak Nasional (LPDN) yang diketuai oleh Ir. Nyelong Inga Simon yang saat ini juga mewakafkan dirinya untuk menjadi wakil rakyat melalui usahanya menjadi calon legisatif DPRD Provinsi Kalimantan Tengah, Daerah Pemilihan Kalimantan Tengah V untuk Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau dari PDIP Nomor Urut 2, pada 26 November 2023 bertempat di Palangka Raya menggelar Lokakarya Nasional (LOKNAS) 1 Lembaga Perempuan Dayak Nasional (LPDN) yang mengusung tema “Hutan dan Perempuan.”
Kegiatan Loknas LPDN 1 dibagi dalam empat sesi yakni pembukaan, diskusi sesi pertam dan kedua serta ditutup dengan Pra-Rakernas LPDN. Dalam Lokakarya Nasional tersebut dihadiri oleh perempuan dayak se-Kalimantan yang tergabung dalam lembaga Perempuan Dayak (LPD) Provinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan, juga LPD Kota Palangka raya, Kabupaten Kapuas, dan kabupaten Pulang Pisau.
Dalam dialog dan diskusi di sesi pertama Loknas LPDN 1 menghadirkan narasumber mulai dari Maria Goreti, S.Sos., M.Si. anggota DPD RI anggota DPD RI perwakilan Kalimantan Barat yang juga sebagai Wakil Ketua Umum LPDN yang membawakan masalah tentang perempuan dan kepemimpinan.
Kemudian Menteri Negara Lingkungan Hidup pada Kabinet Persatuan Nasional (26 Oktober 1999 – 9 Agustus 2001) Dr. Alexander Sonny Keraf membahas tentang Kerangka Dasar Social Forestry dari Aspek Ekonomi, Sosial, Budaya, dan Religi.
Diskusi juga diisi oleh Penyuluh Kehutanan Madya Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah, Neneng Ariani, SP dengan bahasan tentang Pengembangan Perhutanan Sosial di Kalimantan Tengah.
Sesi 1 diskusi dalam Loknas LPDN 1 ditutup oleh aktivis lingkungan Santi Marlina (Tumbang Marikoi) yang menyuguhkan materi Perempuan Berdaya untuk Alam Seitarnya.
Sesi kedua Loknas LPDN 1 menghadirkan narasumber antara lain; perwakilan dari Bapeda Litbang Provinsi Kalimantan Tengah, Endy Anden, S.T.,M.T, yang memaparkan tentang Peran Perempuan dalam Penelitian dan Pengembangan Menunjang Pembangunan. Kemudian dari dilanjutkan oleh Tim Percepatan dan Penurunan Stunting Kota Palangka Raya dr. Muhammad Fitriyanto Leksono,M.Si.
Sesi kedua Loknas LPDN 1 ditutup oleh Dra. Nova Veralina, M.Si. Kabid. Ketahanan Eksosbud, Agama dan Ormas Provinsi Kalimantan Tengah dengan bahasan isu tentang Perempuan dan Politik.
Ketua Umum Lembaga Perempuan Dayak Nasional (LPDN) Ir. Nyelong Inga Simon dalam pembukaan Lokakarya Nasional LPDN 1 menyampaikan bahwa, LPDN tidak terikat dengan warna tertentu melainkan mengakomodasi semua warna untuk kepentingan Perempuan Dayak secara keseluruhan tanpa terkecuali juga masyarakat dayak secara umum.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa keberadaan LPDN adalah untuk menjawab segala tantangan menyongsong Indonesia emas 2045 terkait daya tawar perempuan dayak juga masyarakat dayak dengan hadirnya IKN dan ragam eksploitasi hutan dan alam yang ada dibumi borneo, di mana perempuan dayak memiliki tanggung jawab domestik keluarga yang menopang hidup dan kehidupan sebuah keluarga dan bumi dayak.
“Hutan dan Perempuan, menjadi pembahasan yang penting karena dalam tradisi dayak kita mengajarkan bahwa Tuhan yang pertama menciptakan langit dan bumi, maka inilah pentingnya hutan sebagai bagian dari bumi bagaimana perempuan bertanggungjawab di dalamnya, kenapa? Karena perempuan dayak dan hutan ini sangat erat dan tidak bisa dipisahkan, jika hutan di bumi borneo habis bukan hanya terancam hilangnya paru-paru dunia melainkan pangan juga habis, peradaban kami orang dayak juga akan musnah. Jika hutan habis maka punahlah semua dan terjadilah krisis moral, karena peradaban kami dihilangkan. Maka stop eksploitasi hutan di Bumi Borneo tanpa memikirkan sosial budaya dan hak masyarakat adat dayak,” Tegasnya.
Lebih jauh Ir. Nyelong Inga Simon menjelaskan bahwa di sinilah peran Lembaga Perempuan Dayak Nasional (LPDN) menjadi sangat penting, karena LPDN memiliki kemampuan untuk mewadahi, menampung aspirasi dan menyampaikan ragam rekomendasi ke pemerintah pusat maupun daerah.
Sehingga jika perempuan dayak khususnya dan masyarakat dayak mengalami berbagai masalah terkait pengembangan ekonomi kreatif, pendidikan, hukum, sengketa lahan, dan lainnya dapat disampaikan melalui LPDN.
“Jadi melalui LPDN, kami berharap eksistensi perempuan dayak dan masyarakat dayak di Kalimantan melalui keterlibatannya diberbagai ranah kebijakan baik pusat maupun daerah, serta dilintas sektoral mulai dari sektor pendidikan, sumber daya manusia, umkm, dan lainnya juga termasuk akan dibentuknya sekolah lapangan oleh LPDN yang ditujukan guna mencetak SDM lokal Dayak yang handal sehingga mendapat kesempatan dan prilaku yang profesional dari berbagai stakeholder baik swasta maupun pemerintah yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi yang mengakibatkan deforestasi hutan dan alam di Bumi Borneo. Sehingga hadirnya perkembangan di Bumi Borneo jangan sampai menjadikan perempuan serta masyarakat dayak terbuang dan termusiumkan dari Bumi Borneo. Sehingga selaku Ketua Umum LPDN tentu saya akan berjuang untuk mendorong adanya undang-undang masyarakat adat dayak,” tegas Nyelong.
Sementara Maria Goreti, S.Sos., M.Si. anggota DPD RI anggota DPD RI perwakilan Kalimantan Barat yang juga sebagai Wakil Ketua Umum LPDN dalam Loknas LPDN sesi pertama menyampaikan tentang bagaimana masyarakat dayak khususnya perempuan dayak ini mendapatkan pembekalan tentang kepemimpinan dan juga hak mereka dalam menyikapi berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Di tempat sama, Menteri Negara Lingkungan Hidup pada Kabinet Persatuan Nasional (26 Oktober 1999 – 9 Agustus 2001) Dr. Alexander Sonny Keraf dalam Loknas tersebut menyampaikan Kerangka Dasar Social Forestry dari Aspek Ekonomi, Sosial, Budaya, dan Religi menggarisbawahi tentang isu social Forestry dan robohnya lumbung pangan dayak Kalimantan dan secara khusus Kalimantan tengah.
Melalui pelaksanaan Social Forestry yang didukung dengan adanya peraturan yang memihak pada hak masyarakat adat akan tanah atau lahan yang ada, kemudian diangkatnya masyarakat adat tidak hanya sebagai buruh namun SDM yang memiliki skills sesuai kebutuhan perusahaan, maka ini menjadi sangat penting dan krusial.
Tanpa itu semua itu hanya akan merugikan masyarakat adat di sekitar wilayah eksploitasi atau eksplorasi, baik itu pembangunan IKN, food estate, perkebunan sawit atau lainnya.
“Melalui program Social Forestry atau perhutanan sosial diharapkan terwujudnya ekonomi keberlanjutan bagi masyarakat yang diakibatkan oleh berbagai faktor termasuk perubahan iklim, pemanasan global, juga deforestasi, para pelaku perhutanan sosial yakni masyarakat adat dalam hal ini masyarakat dayak, harus ditujukan untuk keberlanjutan ekonomi guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan, untuk mengatasi kemiskinan, untuk mengatasi keterbelakangan, untuk mengatasi kelaparan, penyakit dan seterusnya. Jadi melalui perhutanan sosial ini kemajuan ekonomi didorong secara betul dan dipastikan berkelanjutan,” jelasnya.
Lebih jauh Sonny Keraf menjelaskan bahwa, jangan sampai prediksi yang ditulis oleh media yang berjudul robohnya lumbung pangan dayak ini benar-benar terjadi. Untuk itu, kehadiran LPDN menjadi sangat penting sebagai perwalian dan perpanjangan tangan secara khusus perempuan dayak dan secara umum masyarakat dayak dalam memperjuangkan hak hidup, hak atas pengelolaan lahan, dan hak atas tanah serta lingkungannya di atas hak investor dan lainnya.
“Jadi perlu ada sebuah perwalian yang dapat mewujudkan serta melindungi mimpi masyarakat adat dayak dalam hal hak atas pengelolaan lahan, sehingga ketika ada investor yang mendapatkan hak atas lahan tersebut, masyarakat dayak tidak terusir atau diusir dari wilayah yang telah lama mereka tempati, kelola dan pelihara. Perwalian ini bisa melalui LPDN, atau melalui tokoh perempuan yang memang mewakafkan dirinya untuk menjadi tempat masyarakat dayak mencurahkan impian dan harapannya, dan juga yang memperjuangkan hak-hak mereka melalui produk hukum yang melindungi dalam bentuk undang-undang masyarakat adat dayak,” tegasnya.
Narasumber lainnya dalam Loknas sesi 1 dan 2 secara umum menyikapi peran posisi perempuan dayak, mulai dari bagaimana mengentaskan masalah stunting, masalah pengembangan SDM lokal masyarakat Dayak, peran perempuan dalam politik, bagaimana mengembangkan perhutanan sosial denga memulai dengan sistem pengelolaan lahan gilir balik, bagaimana konsep sekolah lapangan ini diharapkan menjadi soslusi dalam meningkatkan skills SDM masyarakat dayak, dan juga ditutup dengan wujud nyata kreatifitas perempuan dayak yang diwakili oleh Lembaga Perempuan Dayak (LPD) Kabupaten Kapuas yang telah berhasil memproduksi telur asin sebagai model usaha LPD Kabupaten Kapuas.
Perempuan Dayak di Indonesia diperkirakan mencapai 6 juta jiwa dan rata-rata masih memegang akar tradisi yang kuat. Sama seperti kelompok perempuan yang lain, perempuan Dayak memiliki potensi kekuatan yang besar untuk bisa berdaya dan mandiri jika diberikan kesempatan untuk mengembangkan diri. Lembaga Perempuan Dayak Nasional (LPDN) dibentuk sebagai hasil Keputusan Rapat Kerja Nasional Masyarakat Adat Dayak Nasional (MADN) pada bulan Oktober 2022 di Samarinda, Kalimantan Timur.
Saat ini, Nyelong juga dipercaya oleh MADN menjadi salah seorang Menteri dalam Kepengurusan MADN masa bakti 2022-2026. Dengan dipercayanya Nyelong Inga Simon oleh MADN ini menjadikan ia sebagai yang pertama menjadi Ketua Umum Lembaga Perempuan Dayak Nasional.
Sejalan dengan filosofi Rumah Betang, sebuah rumah besar yang menyatukan kekuatan bersama keluarga Dayak untuk bahu membahu membangun kehidupan bersama, maju bersama dan bersama untuk sejahtera.
Kedepannya LPDN diharapkan menjadi Rumah Betang yang mampu menyatukan seluruh potensi serta kekuatan perempuan Dayak yang menjunjung tinggi semangat bergotong royong dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi masyarakat dayak secara umum dan perempuan dayak secara khusus dan tentunya Indonesia yang diasarkan pada kearifan lokal.
Filosofi Rumah Betang hendaknya menjadi modal sosial dan kultural yang telah ditanamkan oleh moyang kita dalam menciptakan kehidupan Masyarakat Adat Dayak yang harmonis, sejahtera, tanpa konflik, tanpa kekerasan, dan tanpa tekanan. (*/pr)