PORTALBALIKPAPAN.COM – Wakil Ketua DPRD Kaltim, Ananda Emira Moeis mengungkapkan sampai kini Benua Etam masih kekurangan ahli gizi.
Akibatnya, kata Ananda, berdampak pada tingginya prevalensi stunting daerah sebesar 22,2 persen pada 2024. Untuk itu, Pemprov Kaltim diminta dapat menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi yang mencetak lulusan-lulusan ahli gizi setiap tahunnya di Kaltim.
Ia mengingatkan selama ini banyak perguruan tinggi yang mencetak SDM ahli gizi seperti Universitas Mulawarman, Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Kalimantan Timur, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Samarinda.
“Ini bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan tenaga ahli gizi itu,” papar Ananda Emira Moeis, saat ditemui di Gedung E DPRD Kaltim, belum lama ini.
Politisi PDIP itu mengingatkan untuk mencapai target nasional penurunan stunting di daerah, Kaltim perlu menambah jumlah tenaga ahli gizi hingga dua kali lipat.
“Secara nasional 35 orang tenaga gizi ini melayani 100.000 penduduk Kaltim,” beber Ananda,
Ananda menyampaikan saat ini jumlah ahli gizi Kalitm hanya 503 orang dengan jumlah penduduk Kaltim yang menembus hingga 4 juta jiwa pada 2024 lalu.
Ia menilai dengan jumlah itu rasionya tak sampai.
“Artinya 100.000 jiwa penduduk yang harusnya ditangani 35 orang tenaga ahli gizi, di Kaltim malah ditangani hanya sekitar 13 orang saja,” imbuh Ananda.
Ananda Emira Moeis menegaskan pentingnya penambahan tenaga gizi agar pelayanan dan pemantauan gizi di masyarakat bisa lebih efektif, terutama dalam mengatasi kasus stunting.
Artinya Kaltim masih kekurangan sumber daya manusia ahli gizi, yang bekerja di berbagai fasilitas kesehatan maupun Posyandu.
“Sehingga pemantauan tumbuh kembang tidak intensif dan cakupan intervensi spesifik lebih rendah,” jelas Ananda.
Ia menerangkan Kaltim mengalami kekurangan ahli gizi, terutama di lapangan, yang menjadi salah satu penghambat utama penurunan angka stunting di wilayah tersebut.
Sampai kini mana distribusi tenaga gizi masih lemah dan tidak merata, sehingga DPRD Kaltim mendesak pemerintah menambah jumlah ahli gizi guna mengatasi masalah gizi buruk dan stunting.
“Adanya krisis tenaga ahli gizi berdampak langsung pada program penanganan stunting,” tegas Ananda.
Selain itu, Ananda juga menyoroti masih lemah distribusi ahli gizi, terutama di daerah-daerah pedalaman dan pelosok. Hal itu terlihat dari data BPS di beberapa kabupaten dengan jumlah yang sangat sedikit.
Ia mengingatkan minimnya ahli gizi lapangan menjadi salah satu pemicu lambatnya penurunan stunting, dengan angka yang masih tinggi sekitar 22,2%. DPRD Kaltim mendesak pemerintah provinsi segera mengambil langkah taktis guna intervensi yang lebih efektif. (ADV/ Hpn)















