PORTALBALIKPAPAN.COM – Kekhawatiran terhadap kerusakan ekologis meluas, setelah banyaknya kabar semakin maraknya aktivitas pembalakan liar di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto.
Di kawasan Tahura, selama ini menjadi penyangga ekologis penting bagi Samarinda, Kutai Kartanegara, dan Kutai Barat.
Situasi ini dinilai mendesak, sebab fungsi Tahura bukan sekadar ruang konservasi, tetapi juga penopang kualitas udara, stabilitas hidrologi, dan perlindungan ekosistem yang berdampak langsung pada jutaan penduduk di wilayah sekitarnya.
“Kami meminta Pemerintah Provinsi Kaltim memperkuat koordinasi dengan Otorita IKN terkait kerusakan ekologis seperti pembalakan liar di Tahura Bukit Soeharto karena kawasan tersebut menjadi penyangga penting bagi tiga daerah sekaligus,” tegas Sekretaris Komisi II DPRD Kalimantan Timur Nurhadi Saputra, menyampaikan hasil reses Fraksi Demokrat-PPP.
Ia menegaskan bahwa isu ini tidak boleh dianggap sebagai persoalan sektoral semata, mengingat kerusakan hutan di kawasan penyangga dapat memicu bencana ekologis yang skalanya jauh lebih besar dari sekadar hilangnya tutupan lahan.
“Krisis ekologis harus dicegah sejak dini agar Kaltim tidak menghadapi bencana seperti yang terjadi di beberapa wilayah Sumatera,” imbuh Nurhadi.
Fraksi Demokrat–PPP menilai lemahnya pengawasan lintas instansi, turut memperburuk situasi dan membuat lokasi mudah terjadi aktivitas ilegal.
Tahura sebagai kawasan strategis nasional semestinya menjadi prioritas dalam pemantauan terpadu, terutama karena posisinya bersinggungan langsung dengan wilayah Ibu Kota Nusantara (IKN).
Kerusakan di kawasan ini berpotensi merusak keseimbangan ekologis yang menjadi dasar pemerataan pembangunan jangka panjang, termasuk kebutuhan air, keanekaragaman hayati, dan perlindungan kawasan rawan longsor.
Selain penguatan koordinasi dengan Otorita IKN, Fraksi Demokrat–PPP mendesak Pemprov Kaltim meningkatkan patroli, menindak tegas pelaku pembalakan liar, serta memperkuat sistem peringatan dini kerusakan hutan di Tahura Bukit Soeharto.
Langkah tersebut dinilai krusial agar kawasan konservasi tetap berfungsi optimal sebagai benteng ekologis dan tidak berubah menjadi titik rawan bencana, yang membahayakan masyarakat di tiga kabupaten/kota sekaligus. (ADV/ Lrs)


















