PORTALBALIKPAPAN.COM, Korea Selatan – Sebuah tragedi memilukan mengguncang Korea Selatan pada Minggu pagi, 29 Desember, ketika pesawat Jeju Air 7C2216 mengalami kecelakaan fatal di Bandara Internasional Muan.
Pesawat yang membawa 175 penumpang dan enam awak ini mencoba mendarat darurat namun tergelincir keluar dari landasan pacu, menabrak tembok, dan meledak dalam kobaran api dahsyat.
Dari 181 orang di dalamnya, 179 tewas, menjadikannya kecelakaan udara paling mematikan dalam sejarah modern Korea Selatan.
Video yang beredar menunjukkan momen memilukan saat Boeing 737-800 itu mendarat tanpa roda pendaratan terlihat, menghantam peralatan navigasi sebelum akhirnya meledak menjadi bola api.
“Hanya bagian ekor yang bisa dikenali,” ujar Lee Jung-hyun, Kepala Pemadam Kebakaran Muan.
Dua awak pesawat berhasil diselamatkan dari reruntuhan dan kini dirawat intensif akibat luka berat.
Pesan Terakhir di Tengah Kepanikan
Di tengah kekacauan, sebuah pesan teks menggetarkan hati publik. Salah satu penumpang sempat mengabarkan kepada keluarganya bahwa seekor burung terjebak di sayap pesawat.
Pesan terakhirnya berbunyi, “Haruskah saya mengucapkan kata-kata terakhir saya?” Sebuah ungkapan yang kini menjadi simbol duka mendalam bagi keluarga korban.
Misteri dan Penyebab Kecelakaan
Kementerian Transportasi Korea Selatan bersama tim penyelidik internasional sedang mencari tahu penyebab kecelakaan. Indikasi awal menunjukkan kemungkinan tabrakan dengan burung sebagai penyebab rusaknya roda pendaratan.
Namun, Geoffrey Thomas, editor Airline News, menegaskan bahwa tabrakan burung jarang menyebabkan hilangnya kendali pesawat secara fatal.
Sementara itu, para ahli dan keluarga korban terus menuntut kejelasan. Pihak bandara sebelumnya mengeluarkan peringatan tentang potensi tabrakan burung, tetapi tragedi tetap tak terelakkan.
Duka Mendalam dan Pencarian Tak Berujung
Keluarga korban berkumpul di bandara, menunggu kabar dengan penuh harap yang pupus. Beberapa menangis histeris saat nama-nama korban diumumkan.
“Saudaraku yang lebih tua meninggal, dan aku tidak tahu apa yang sedang terjadi,” ujar salah satu kerabat di depan mikrofon.
Di lokasi kecelakaan, aroma bahan bakar bercampur darah menyelimuti udara. Pekerja dengan pakaian pelindung menyisir reruntuhan, sementara tentara menyisir semak-semak untuk mencari tubuh yang mungkin terlempar dari pesawat.
Kecelakaan ini mengingatkan pada tragedi Korean Air di Guam tahun 1997 yang menewaskan lebih dari 200 orang.
Namun, bagi keluarga korban, statistik tak berarti apa-apa. Mereka hanya ingin kejelasan dan keadilan bagi orang-orang tercinta yang kini tak lagi ada.
Jeju Air 7C2216 menjadi catatan kelam dalam sejarah penerbangan Korea Selatan, meninggalkan luka yang tak akan mudah sembuh.
Di balik reruntuhan, pesan terakhir seorang penumpang terus terngiang: “Haruskah saya mengucapkan kata-kata terakhir saya?”. (*/imm)