PORTALBALIKPAPAN.COM – Sebanyak 122 orang menjadi korban kasus tindak pidana perdagangan orang atau TPPO. Modusnya, penjualan organ tubuh ginjal.
Sindikat itu diungkap Polda Metro Jaya. Semula menampung para korban di Bekasi, lantas mengirim mereka ke Kamboja untuk proses pengambilan ginjal.
Dalam kasus ini, 12 orang ditetapkan jadi tersangka. Apa yang membuat para korban tergiur untuk menjual ginjal?
Sosiolog dari Universitas Nasional, Sigit Rochadi, menyebut kondisi ekonomi yang sulit menjadi faktor utama di balik kesediaan para korban menjual salah satu organ tubuhnya.
“Karena faktor ekonomi, jadi kemiskinanlah yang membuat mereka mau melakukan tindakan itu,” ujar Sigit dilaporkan Rol, Jumat (21/7/2023).
“Mereka membayangkan uang puluhan juta yang belum pernah dilihat dan dimiliki. Itu yang utama,” imbuhnya. Sigit menjelaskan, para korban biasanya diyakinkan bahwa prosesnya berlangsung aman.
Bahwa seseorang tetap bisa hidup dengan satu ginjal dan tidak akan memberi efek apa pun. Provokasi itu membuat korban yakin mengambil keputusan.
Dengan cara itu, pelaku mencegah calon korban berkomunikasi dengan orang lain, atau keluarga di negara asal.
Di Indonesia, cara-cara demikian disebut Sigit sebenarnya sudah berlangsung cukup lama, yakni sejak 1990-an.
Kasus kian marak saat pandemi Covid-19, yang menyebabkan banyak keluarga mengalami masalah perekonomian. Korban pun akhirnya menjual ginjal akibat terlilit kebutuhan ekonomi dan berada dalam perangkap.
Sigit menambahkan, biasanya yang digunakan menjaring korban baru adalah orang yang dulunya pernah menjadi korban, untuk menunjukkan bukti bahwa tidak apa-apa hidup dengan satu ginjal.
“Sama seperti peredaran narkoba, menggaet calon korban dengan yang sudah pernah kecanduan,” ucapnya.
Terkait kasus terbaru yang diungkap Polda Metro Jaya, para korban berasal dari berbagai latar belakang. Disebutkan bahwa salah satunya berprofesi sebagai dosen dan memiliki gelar S2. Menurut Sigit, pertimbangan ekonomi tetap melatarinya.
Sigit mengatakan, dosen dengan gelar S2 tidak mematahkan alasan faktor ekonomi. Sebab, masih ada sejumlah dosen di universitas swasta dengan besaran gaji yang masih kurang memadai, bahkan kalah dari gaji guru SD yang merupakan pegawai negeri.
Ada pun metode menjaring korban yang dilakukan lewat media sosial, menurut Sigit itu karena ada perbedaan aturan terkait penjualan organ di berbagai negara. Di negara yang tidak melarang, maka yang bersangkutan tidak akan bisa dituntut.
Sigit menyoroti bahwa pemerintah punya pekerjaan berat untuk mengedukasi masyarakat mengenai TPPO, yang di dalamnya termasuk penjualan organ tubuh.
Menurut Sigit, pemahaman masyarakat Indonesia mengenai jual beli organ tubuh belum terlalu baik.
Dalam masyarakat tertentu, misalnya yang tinggal di pelosok desa, mungkin masih menganggap mendonorkan anggota tubuh sebagai tindakan membantu orang lain, sikap kedermawanan menyelamatkan nyawa.
Padahal, ada sindikat internasional yang membidik korban di sejumlah negara berkembang dengan penduduk yang padat.
“Pemerintah melalui jaringannya, khususnya ke lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga kemasyarakatan, harus memasukkan edukasi mengenai bahaya penjualan organ tubuh, misalnya dalam agenda-agenda di pemerintah daerah dan kelurahan,” tutur Sigit.
Sebanyak 122 korban tindak pidana yang terjerat TPPO bermodus penjualan organ tubuh telah diambil ginjalnya di Rumah Sakit Ket Mealea, Phnom Penh, Kamboja.
Namun, penerima hasil penjualan ginjal tersebut ternyata berasal dari berbagai negara, termasuk Cina dan India.
“Menurut keterangan pendonor, reciever, atau penerima berasal dari macanegara, India Cina, Malaysia, Singapura, dan lain sebagainya,” papar Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Kombes Hengki Haryadi dalam konferensi pers di Markas Polda Metro Jaya, Semanggi, Jakarta Selatan, Kamis (20/7/2023).
Hengki menjelaskan, para korban TPPO berasal dari berbagai kalangan masyarakat di Indonesia. Latar belakang dari para korban cukup bervariasi mulai dari pedagang, guru hingga ada yang lulusan strata 2 atau S2 di perguruan tinggi terkemuka.
Ia berujar motif para korban bisa tergiur oleh ajakan pelaku lantaran terhimpit masalah ekonomi.
Dalam kasus ini, sebanyak 122 orang telah menjadi korban dan ginjal milik korban dijual dengan harga Rp 200 juta. Ginjal para korban diambil di rumah sakit militer Preah Ket Mealea yang terletak di wilayah Phnom Penh, ibukota Kamboja. Rumah sakit militer tersebut dibawah kendali pemerintah Kamboja.
“Para sindikat Indonesia terima pembayaran Rp 200 juta, (lalu) Rp 135 juta dibayar ke pendonor. Sindikat terima Rp 65 juta perorang dipotong ongkos operasional pembuatan paspor, naik angkutan dari bandar ke rumah dan dan sebagainya,” jelas Hengki.
Menurut Hengki, total omzet yang didapat para sindikat sejak tahun 2019 sampai dengan tahun 2023 sebesar Rp 24,4 milyar. Angka tersebut didapat dari hasil penjualan ginjal sebanyak 122 korban. (Rol)