PORTALBALIKPAPAN.COM, Jakarta – Kementerian Sosial (Kemensos) telah menyerahkan berkas usulan 40 tokoh untuk memperoleh gelar Pahlawan Nasional kepada Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK), Fadli Zon. Dari puluhan nama tersebut, salah satunya adalah mantan Presiden RI ke-2, HM Soeharto.
Usulan nama Soeharto memunculkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Partai Golkar diketahui mendukung pemberian gelar tersebut, sedangkan sejumlah aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan pemerhati kemanusiaan menolaknya.
Menanggapi polemik itu, advokat senior Prof. Dr. Otto Cornelis Kaligis, S.H., M.H., yang pernah menjadi pengacara pribadi almarhum Soeharto, menegaskan bahwa selama dirinya mendampingi sang mantan presiden, tidak ditemukan satu pun bukti hukum yang mendukung tuduhan korupsi dan pelanggaran HAM sebagaimana diberitakan oleh Majalah Time.
“Bahkan ketika Pak Harto memulai masa tugasnya sebagai Presiden RI, tiga Partai Orde Baru, yaitu Golkar, PDIP, dan PPP, semuanya mendukung Repelita Pak Harto,” ujar Kaligis, yang dikenal sebagai Manusia Sejuta Perkara.
Kaligis menambahkan, dunia internasional pun menghormati kepemimpinan Soeharto. Hal itu terbukti dari banyaknya penghargaan dan bintang jasa yang diterimanya selama menjabat sebagai kepala negara.
Ia juga menyebut tuduhan Majalah Time tentang keberadaan uang Soeharto di luar negeri merupakan fitnah. Menurut Kaligis, Soeharto bahkan sempat memberi kuasa kepada Menteri Kehakiman dan HAM Prof. Muladi serta Jaksa Agung Andi Ghalib untuk menelusuri dugaan tersebut.
“Hasilnya nihil. Bahkan dalam gugatan perdata melawan Majalah Time, tidak ada satu pun bukti yang menunjukkan Pak Harto memiliki uang di luar negeri,” ungkap Kaligis.
Lebih lanjut, Kaligis menjabarkan berbagai capaian selama enam tahap Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) di masa pemerintahan Soeharto, yang menurutnya berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat, memperluas pembangunan di luar Pulau Jawa, hingga membuka lapangan kerja dan mempercepat industrialisasi.
Ia juga membantah tuduhan penyalahgunaan dana yayasan oleh Soeharto. Menurutnya, seluruh yayasan yang didirikan kala itu diketahui publik dan telah disahkan DPR RI.
Dana yayasan digunakan untuk kepentingan sosial, antara lain pendidikan, pemberian beasiswa, pembangunan masjid, dan pendirian rumah sakit seperti RS Jantung Harapan Kita, RS Kanker Indonesia, serta RS Cacat Veteran.
Selain itu, Kaligis menyinggung kasus hukum Tommy Soeharto di Channel Island, Guernsey, yang menurutnya juga tidak terbukti menggunakan uang hasil korupsi.
Terkait tuduhan pelanggaran HAM seperti Penembakan Misterius (1982–1985), Talangsari (1980), Kerusuhan Mei (1998), dan Trisakti, Kaligis menegaskan bahwa hal tersebut seharusnya ditangani penyidik HAM melalui proses hukum, bukan sekadar narasi politik.
“Dalam dua kali kesempatan saya ke organisasi HAM dunia—di Strasbourg dan Jenewa—tidak pernah terdengar narasi pelanggaran HAM oleh Pak Harto,” tegasnya.
Kaligis menambahkan, dunia internasional justru memberikan sekitar 45 penghargaan dan bintang jasa kepada Soeharto, sebagai bentuk pengakuan terhadap kepemimpinannya.
“Kini Pak Harto telah berpulang ke pangkuan Ilahi. Sebagai bangsa yang beradab, tidak pantas kita terus memfitnah beliau. Berdasarkan uraian saya di atas, saya berkesimpulan bahwa Pak Harto pantas diberi gelar Pahlawan Nasional,” pungkas Kaligis. (*/pr/fr)
















